Jenggot bukan hanya warisan budaya, ia juga bisa tampil elegan. Di balik rambut wajah, ada karakter, kedewasaan, dan wibawa yang tak lekang oleh zaman. (DRJ/AI).
Yogyakarta, MINAKONEWS.COM – 6 September 2025. Hari ini, dunia memperingati Hari Jenggot Sedunia sebuah selebrasi tahunan yang jatuh setiap Sabtu pertama di bulan September. Meski awalnya dipopulerkan oleh komunitas di Denmark sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi Viking, perayaan ini kini menjadi ruang global untuk merayakan jenggot sebagai simbol gaya, identitas, dan warisan budaya.
Di tengah tren global yang menjadikan jenggot sebagai simbol maskulinitas modern, masyarakat Jawa menyimpan makna yang jauh lebih dalam. Dalam budaya Jawa, jenggot bukan sekadar rambut di dagu—ia adalah simbol kedewasaan, spiritualitas, dan bahkan kesaktian.
Lambang Kedewasaan dan Wibawa
Dalam masyarakat Jawa tradisional, jenggot sering diasosiasikan dengan kematangan hidup. Tokoh-tokoh pewayangan seperti Resi Bhisma dan Begawan Durna digambarkan berjenggot panjang dan rapi penanda bahwa mereka telah melewati fase kehidupan yang membentuk karakter dan kebijaksanaan.
Jenggot menjadi penanda wibawa. Seorang lelaki yang berjenggot dianggap telah “matang batin, bukan sekadar dewasa secara usia.
Jenggot dan Spiritualitas
Di kalangan religius, terutama para kyai dan tokoh spiritual, jenggot menjadi simbol ketekunan dan keimanan. Dalam Islam, memelihara jenggot dianggap sunnah, sebagai bentuk mengikuti jejak Nabi. Namun dalam tradisi Jawa, jenggot juga diasosiasikan dengan laku prihatin dan tirakat—jalan spiritual menuju kesempurnaan batin.
Dalam Seni dan Cerita Tradisional
Jenggot hadir dalam seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak. Tokoh bijak, sakti, atau bahkan antagonis yang licik sering digambarkan berjenggot. Ini bukan sekadar estetika, tapi bagian dari konstruksi visual budaya yang menghubungkan jenggot dengan kekuatan batin dan karakter.
Pandangan Modern: Antara Simbol dan Stereotip
Di era sekarang, jenggot kadang diasosiasikan dengan ekstremisme atau stereotip tertentu. Namun seperti yang dijelaskan oleh Dr. Muhsin Labib, simbol seperti jenggot tidak boleh ditinggalkan hanya karena disalahgunakan oleh segelintir kelompok. “Simbol adalah penanda. Kalau kita meninggalkannya, kita justru menyerahkan makna itu kepada mereka yang menyimpangkannya, ujarnya.
Kesimpulan
Jenggot dalam budaya Jawa adalah cermin dari nilai-nilai luhur: kedewasaan, spiritualitas, dan wibawa. Ia bukan sekadar tren gaya hidup, tapi bagian dari narasi identitas yang telah hidup berabad-abad. Di tengah dunia yang serba visual dan cepat menilai, memahami makna jenggot secara budaya adalah upaya merawat kedalaman dan warisan.
Hari Jenggot Sedunia bukan hanya soal gaya global, tapi juga momen untuk menengok kembali akar lokal—di mana rambut wajah bukan sekadar penampilan, melainkan cerminan batin dan karakter.(DRJ).
Penulis. : DRJ
Editor. : Red minakonews
