Indeks

Kemiskinan Turun, Tapi Banyak yang Tak Bekerja: Potret Sosial Sumbar 2025

Seorang perempuan lansia duduk termenung di sudut kota. Wajahnya menyimpan lelah yang tak terucap, di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang terus bergerak. Ia adalah potret nyata dari kemiskinan yang tak selalu tampak dalam angka, tapi terasa dalam sunyi dan kesendirian (Foto: Pixabay).

Padang (Sumbar), MINAKONEWS.COM – Sumatera Barat mencatat tren penurunan angka kemiskinan pada Maret 2025, namun tingkat pengangguran justru tetap tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di provinsi ini mencapai 348.210 orang atau 5,92% dari total populasi. Angka ini menurun dibanding September 2024, seiring dengan penurunan kemiskinan nasional. Garis kemiskinan Sumbar kini berada di angka Rp 609.160 per orang per bulan.

Namun, di sisi lain, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Sumbar per Februari 2025 tercatat sebesar 5,79%, dengan jumlah pengangguran mencapai 178.840 orang. Meski persentase TPT sedikit menurun, jumlah pengangguran secara absolut justru meningkat. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa kemiskinan bisa turun sementara pengangguran tetap tinggi?

Peneliti sosial Muhammad Farhan menyebut fenomena ini sebagai “Anomali Sumbar”.
“Sumatera Barat merupakan daerah dengan angka pengangguran yang tinggi di Indonesia. Uniknya, Sumatera Barat bahkan tidak masuk dalam 15 besar provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi,” ujarnya dalam opini yang dimuat Kabar Kampus.

Farhan menjelaskan, kontribusi diaspora Minang, uang kiriman dari perantau berperan besar dalam menekan angka kemiskinan, meskipun banyak warga di kampung tidak bekerja secara formal.

Analisis serupa disampaikan oleh akademisi Universitas Andalas, M. Asyrafi Hadi dan Fery Andrianus, dalam jurnal INFEB 2025. Mereka menemukan bahwa pendidikan memiliki dampak negatif signifikan terhadap kemiskinan, artinya semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin kecil kemungkinan ia jatuh miskin.

Namun, pertumbuhan ekonomi justru memiliki efek positif terhadap kemiskinan, menunjukkan bahwa pertumbuhan belum merata. Sementara itu, pengangguran tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan dalam jangka panjang.

Temuan ini memperkuat argumen bahwa kemiskinan di Sumbar lebih dipengaruhi oleh faktor struktural seperti pendidikan, distribusi ekonomi, dan dukungan sosial dari perantau, bukan semata-mata oleh angka pengangguran.

Pemerhati kebijakan sosial mendorong agar pemerintah daerah tidak hanya fokus pada penciptaan lapangan kerja, tetapi juga memperluas akses pendidikan berkualitas dan memperkuat jaringan ekonomi lokal. Tanpa intervensi yang menyentuh akar masalah, Sumbar akan terus menghadapi paradoks sosial: masyarakat tidak miskin, tapi banyak yang tidak bekerja.(d®amlis).

Penulis. : d®amlis

Editor. : Red minakonews