Indeks

LIMBAH UPGRADE LEVEL, DARI BEBAN JADI BERKAH

Oleh : Ariqa Luthfiya

Sampah sering kali identik dengan masalah: menumpuk di tempat pembuangan akhir,
mencemari lingkungan, bahkan mengganggu kesehatan. Namun, jika dikelola dengan
pendekatan yang tepat, limbah justru bisa upgrade level dari beban menjadi berkah, dari
sesuatu yang dianggap tak bernilai menjadi sumber daya baru.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, pada 2023
Indonesia menghasilkan sekitar 69,9 juta ton sampah, dengan lebih dari 33% di antaranya
belum terkelola dengan baik. Di Sumatera Barat, jumlah sampah pada 2024 mencapai 875
ribu ton, dengan Kota Padang sebagai penyumbang terbesar lebih dari 240 ribu ton. Angka yang besar ini menunjukkan betapa pentingnya inovasi pengelolaan sampah di tingkat lokal.

Di tengah tantangan tersebut, sudah muncul inisiatif yang menginspirasi. Di Padang, PKBM
Farilla Ilmi memberdayakan ibu-ibu rumah tangga untuk mengolah plastik bekas menjadi tas, dompet, hingga kotak pensil. Produk tersebut dijual mulai Rp35 ribu hingga Rp100 ribu, memberi tambahan penghasilan sekaligus mengurangi timbunan sampah. Di Solok, industri air minum Aqua sudah memproduksi kemasan galon dengan 65% bahan plastik daur ulang, sebuah langkah yang mendukung konsep ekonomi sirkular.

Payakumbuh juga mulai bergerak. Kelompok tani di beberapa titik mengolah sampah organik rumah tangga menjadi pupuk. Hasilnya bukan hanya mengurangi volume sampah organik,
tetapi juga menekan biaya produksi pertanian. Hal ini penting mengingat sektor pertanian
masih menjadi tulang punggung ekonomi daerah.

Potensi terbesar memang terletak pada sampah organik, yang jumlahnya sekitar 60% dari total timbunan sampah nasional. Jika diolah menjadi kompos, pupuk cair, atau bahkan biogas, sampah organik bisa kembali ke masyarakat dalam bentuk manfaat nyata. Sementara itu,
sampah anorganik, terutama plastik, memiliki peluang besar untuk diolah menjadi produk kreatif bernilai jual.

Tentu saja, jalan menuju transformasi ini tidak mudah. Kesadaran masyarakat untuk memilah sampah masih rendah, sehingga organik dan anorganik sering bercampur. Infrastruktur
pengelolaan juga terbatas, dengan hanya sekitar 39% sampah di Indonesia yang benar-benar
terkelola dengan baik. Hal ini menuntut sinergi yang lebih kuat antara pemerintah,
masyarakat, dan sektor swasta.

Bagi generasi muda, terutama Gen Z, isu ini sesungguhnya menjadi ruang kontribusi. Melek
teknologi dan terbiasa dengan kreativitas digital, anak muda bisa mendorong kesadaran baru: dari kampanye media sosial, produk kreatif berbahan daur ulang, hingga inisiatif bisnis ramah
lingkungan. Perubahan gaya hidup sederhana seperti memilah sampah di rumah, berpartisipasi dalam bank sampah, atau memilih produk hasil daur ulang dapat menjadi bagian nyata dari solusi.

Pemerintah daerah juga perlu memperkuat dukungan. Program bank sampah, regulasi
pengendalian plastik, serta pembangunan fasilitas pengolahan sudah ada, namun perlu ditambah dengan insentif ekonomi bagi pelaku UMKM daur ulang dan akses pasar digital yang lebih luas. Dengan cara ini, limbah benar-benar bisa berubah menjadi nilai tambah yang
berkelanjutan.

Mengelola sampah berarti mengelola masa depan. Dari beban lingkungan, sampah bisa menjadi berkah ekonomi. Dari limbah ke nilai tambah bukan sekadar jargon, melainkan arah
baru pembangunan berkelanjutan. Jika semua pihak, termasuk generasi muda, mau bergerak, maka upgrade level sampah dari masalah menjadi peluang bukan lagi sekadar wacana, tetapi
kenyataan.

Penulis : adalah Ariqa Luthfiya, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Andalas, Kampus II Payakumbuh.

Editor. : Red minakonews