Mudzakarah Haji 2022 dan Peneguhan Komitmen Kebangsaan

Ahmad Zainul Hamdi

Setelah berhasil menyelenggarakan ibadah haji pasca-pandemi Covid 19, Kemenag RI menyelenggarakan acara Mudzakarah Perhajian Indonesia 2022. Acara ini diselenggarakan di Aula Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo (28/11). Ini merupakan acara tahunan Ditjend Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), Kemenag RI, setelah pelaksanaan haji di tahun tersebut.

Sebagaimana makna istilah “mudzakarah” yang berarti tukar pikiran dalam masalah tertentu, acara ini mendiskusikan tentang berbagai masalah perhajian. Antara lain, konsep “istitha’ah” atau kemampuan dan tingginya biaya haji yang ditetapkan Pemerintah Arab Saudi.

Jika di tahun-tahun sebelumnya acara mudzakarah haji selalu bertempat di hotel, tahun ini diselenggarakan di pesantren. Ini berarti pertama kali dalam sejarah acara mudzakarah haji diselenggarakan di pesantren.

Bukan tanpa alasan jika Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dipilih sebagai tempat acara. Di acara mudzakarah ini, Ditjen PHU Kemenag RI meluncurkan buku Moderasi Manasik Haji dan Umrah. Sebagaimana yang disampaikan Stafsus Menag bidang Ukhuwah Islamiyah dan Moderasi beragama, Isfah Abidal Aziz, dalam sambutannya, Pesantren Syafi’iyah Salafiyah di era kepengasuhan KH As’ad Syamsul Arifin, telah berhasil mengukir sejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yaitu, meneguhkan komitmen kebangsaan melalui pengakuan Azaz Tunggal Pancasila dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27, 1984.

Dalam konsep moderasi beragama, komitmen kebangsaan adalah salah satu indikator penting. Di saat kuatnya arus ideologi yang menghadapkan antara komitmen keagamaan dan komitmen kebangsaan, moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan perilaku keagamaan yang meletakkan cinta tanah air sebagai bagian dari panggilan iman.

Di tengah berbagai tuduhan bahwa moderasi beragama adalah upaya untuk pendangkalan akidah, jauh sebelum istilah ini diperkenalkan Kemenag RI, para kiai dan ulama telah membangun fondasi teologis tentang pentingnya sikap moderat (tawassuth) dalam beragama.

Dalam sejarahnya, pesantren telah membuktikan dirinya menjadi basis perlawanan terhadap penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Kepahlawanan KH As’ad Syamsul Arifin adalah salah satu dari sekian banyak teladan nasionalisme dari para kiai pesantren.

Karena itu, tidak mengherankan jika dalam Keputusan Munas Alim Ulama NU 1983 di Situbondo yang kemudian dikukuhkan dalam Muktamar NU ke-27 dinyatakan bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila adalah perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia dalam mengamalkan syariat agamanya. Oleh karena itu, umat Islam wajib mengamankan dan mengamalkan Pancasila.

Muhammadiyah, ormas keislaman modernis terbesar di Indonesia juga memiliki pandangan yang sama. Dalam Muktamarnya yang ke-47 di Makassar, 2015, Muhammadiyah memutuskan bahwa Indonesia dengan Pancasilanya adalah darul ahdi wa al-syahadab atau negara kesepakatan dan persaksian. Pancasila merupakan kesepakatan dalam hidup berbangsa dan bernegara di mana komitmen kepadanya adalah bagian dari komitmen terhadap agama.

Sekalipun mudzakarah haji tahun ini membicarakan tentang berbagai hal, namun semangat yang dibangun adalah keberagamaan yang moderat. Keberagamaan yang moderat berarti keberagamaan yang dijalankan seiring dengan kecintaan terhadap negeri ini. Di sinilah arti penting keteladanan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dalam membangun sikap beragama yang moderat. Yaitu, cara beragama yang memiliki komitmen terhadap negara dan bangsa ini.

Sumber: Ahmad Zainul Hamdi (Warek III UINSA Surabaya; Tim Pembimbing Ibadah Haji 2022; Peserta Mudzakarah Perhajian Indonesia 2022)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *