Oleh: St.Syahril Amga, S.H. M.H
Study banding hakikatnya adalah belajar membanding-bandingkan. Membanding-bandingkan daerah kita dengan daerah tempat yang dijadikan study banding itu. Yang dibandingkan itu mulai dari kemajuan daerah tempat study banding sampai kepada sumber pendapatan daerah dan bagaimana tingkat kesejehteraan masyarakatnya.
Yang biasa melakukan study banding itu adalah anggota Legislatif dan ditambah dengan sejumlah pihak eksekutif. Hasil dari study banding itu oleh legislatif adalah sebagai dasar hukum mendesak eksekutif agar melakukan sesuatu untuk meningkatkan pendapatan daerah. Dewasa ini tidak wakil rakyat saja yang melakukan study banding itu, sudah berbagai unsur masya rakat yang melakukan kegiatan tersebut.
Tidak terkecuali wartawan juga sudah melaksanakan study banding. Termasuk wartawan kabupaten Tanah Datar. Namun syarat untuk ikut study banding itu harus memberikan 150 kliping berita, begitu yang digariskan Pemda setempat melalui ko mimfo dulunya. Tujuan Study banding tentu saja sama-sama membanding-banding kan.
Biayanya dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Akhir-akhir ini biaya study banding bagi wartawan tersebut yang disahkan DPRD setempat dikabarkan Rp.470 juta. Namun apa hasilnya, menurut diantara wartawan balik bertanya, oleh anggota DPRD apa pula hasil study bandingnya yang bisa dikatakan tiap tahun melakukan study banding.
Yang tidak memberikan kliping 150 berita kepada komimfo tidak diikutkan melakukan study banding kemanapun. Karena study banding itu dengan biaya dari APBD, begitu realitanya. Sesungguhnya Study banding itu ke-kota dan Provinsi lain adalah untuk mendapatkan bahan atau informasi yang bermamfa”at bagi kemajuan daerah yang melakukan study banding itu.
Untuk mendapatkan bahan yang dibutuhkan maka setiap yang melakukan study banding melakukan tanya jawab dengan aparat/pejabat tempat study banding. Pe jabatnya tentunya adalah sarjana dan in telektual. Karena aparat itulah yang menguasai berbagai data dan fakta.
Penulis adalah wartawan yang tidak per nah mengkliping berita sebagaimana yang diwajibkan oleh Komimfo. Oleh karena itu tidak ikut melakukan study banding bersama kawan-kawan. Lalu mencoba-coba me lakukan study banding tapi bukan ke-Kota melainkan ke-hutan sawit.
Di hutan itu disamping melakukan pengamatan sendiri juga melakukan tanya jawab dengan orang yang ada di hutan itu. Atas study banding kehutan itu diketahuilah bahwa Sawit dewasa ini sebagai tanaman primadona dalam meningkatkan ekonomi rakyat peserta. Dari hasil tanya jawab itu diperoleh informasi tidak ada peserta tanaman kelapa Sawit yang miskin justru penghasilanya bersihnya tidak ada yang di bawah Rp.2 juta perbulan/hektar.
Namun sawit itu tidak obahnya bagaikan Singa tanaman. Karena itu dimana tanaman Sawit disana tumbuh-tumbuhan yang lain mati dan pupus dibuatnya, bahkan mata air pun lenyap di buatnya.Tanaman Sawit itu hanya berumur 26 th setelah 26 th harus dimusnakan. Sesudah itu ditanam kembali yang disebut dalam istilah peserta Sawit diremajakan kembali.
Akan tetapi setelah 2 kali tanam Sawit, tanah bekas tanaman sawit itu hilang humusnya. Seiring dengan itu diketahui ratusan pemilik kendaraan bermotor yang tidak melakukan kewajibannya. Baik atas lampu kendaraannya, maupun perlengkapan kendaraannya yang lain, bahkan plat nomor yang diterbitkan oleh Polisi (Nopol nya) tidak ada dipasang. Malah bunyi knal potnya yang keras dan itu lumbrah kendaraan di dalam hutan namanya.
Menurut informasi yang diperoleh, knal pot berbunyi keras itu untuk menghilangkan takut. Sebab di hutan sawit yang binatang liar tetap banyak berkeliaran. Dengan kerasnya bunyi knalpot binatang itu akan menghindar dari kita, jelas nara sumber penulis.
Atas hasil study banding itu juga menunjukan ratusan pemilik kendaraan yang tidak membayar kewajibannya atas pajak. Walaupun pajak itu akhirnya untuk kita juga, begitu yang diperoleh dari study banding kebeberapa hutan sawit di Provinsi Sumatera Barat.
Provinsi Sumatera Barat memiliki sejumlah kabupaten yang memiliki hutan sawit. Diantaranya, kabupaten Pasaman, Agam, Solok Selatan dan kabupaten Dharmasraya yang dapat dideteksi penulis. Bahkan me mang itu diantaranya yang menjadi pilot proyek dari penulis. Disamping itu juga ada Provinsi lain yang kabupatennya mempunyai hutan Sawit. Apakah itu provinsi Jam bi, Bengkulu, Lampung, Bengkulu, Sumsel, Kalteng, Kaltim dan lain-lainya.
Pada Provinsi lain yang punya hutan sawit itu juga belum tertutup kemungkinan keberadaan kendaraan bodong. Bukan sekedar bodong melainkan juga pemiliknya tidak melunasi kewajibannya. Baik terhadap perlengkapan kendaraannya, maupun tentang kewajiban pemiliknya membayar pajak tersebut.
Sekedar yang menyangkut pajak kendaraan yang tidak dibayar pemiliknya. Kalau tidak bisa aparat pemerintah masuk hutan menagih tunggakan pajak itu relakan saja. Namun untuk masa mendatang bagi daerah tertentu yang warganya membeli kendaraan bermotor, bisa saja dibebankan pa jak untuk 4 th. Itu baru yang dapat dikemukakan penulis atas study banding kedalam hutan.
Demikianlah reportasi pendek sebagai kewajiban dari study banding ke-dalam hu tan. Semoga.
Penulis : St Syahril Amga
Editor : Red minakonews