Siswa berseragam sekolah menerima perawatan infus akibat keracunan makanan bergizi gratis (MBG) di fasilitas kesehatan darurat.(Foto : TEMPO.CO).
MINAKONEWS.COM – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan pada Januari 2025 sebagai bagian dari upaya nasional mengatasi stunting dan meningkatkan gizi anak-anak sekolah. Ribuan dapur dibuka di berbagai daerah, terutama di Jawa dan Sumatra. Namun, dalam waktu singkat, program ini berubah menjadi sumber krisis kesehatan.
Sejak Februari hingga Mei, kasus keracunan mulai bermunculan. Gejala yang dialami siswa meliputi mual, muntah, diare, dan gatal-gatal. Lokasi awal kejadian tercatat di Empat Lawang, Sumatera Selatan, dan Sukoharjo, Jawa Tengah.
Memasuki Agustus hingga September, jumlah kasus melonjak tajam. Berdasarkan data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), total korban keracunan mencapai 6.452 siswa. Jawa Barat mencatat angka tertinggi dengan 2.012 kasus, disusul DI Yogyakarta (1.047), Jawa Tengah (722), Bengkulu (539), dan Sulawesi Tengah (446).
Puncaknya terjadi pada 26 September 2025, saat Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Nanik S. Deyang, menggelar konferensi pers. Dalam suasana haru, ia menyampaikan permintaan maaf atas insiden keracunan massal. Nanik juga mengungkap bahwa dirinya menerima pesan dari politikus yang meminta jatah dapur MBG, namun ia menolak tegas. “Saya langsung block, block, block. Enak aja lu ngurusin dapur,” ujarnya.
Sebagai tindak lanjut, BGN menutup 40 dapur MBG yang terbukti melanggar standar operasional. Mitra penyedia makanan diberi tenggat satu bulan untuk melengkapi sertifikat higiene sanitasi, sertifikat halal, dan kelayakan air. BGN menegaskan bahwa dapur milik jenderal atau pejabat pun akan ditutup jika tidak memenuhi syarat.
Di sisi lain, Koalisi Kawal MBG yang terdiri dari ICW, JPPI, dan sejumlah lembaga masyarakat sipil mendesak evaluasi total terhadap program ini. Akademisi menyebut MBG sebagai program yang brutal secara teknokratik dan minim akuntabilitas. Orang tua dan guru mulai angkat suara, menuntut transparansi dan perlindungan bagi anak-anak.
Siswa berseragam sekolah menerima perawatan infus akibat keracunan makanan bergizi gratis (MBG) di fasilitas kesehatan darurat. Insiden ini mencerminkan lemahnya pengawasan dapur MBG yang seharusnya menjamin keamanan pangan anak-anak. _Foto: TEMPO.CO_
Program MBG bukan sekadar soal gizi, tapi soal tata kelola publik. Ketika dapur menjadi rebutan politik, anak-anak kehilangan haknya atas makanan yang aman. Ketika tangis pejabat lebih jujur dari laporan resmi, publik berhak bertanya: siapa yang sebenarnya mengatur dapur?
Minakonews akan terus mengawal. Karena di balik setiap piring nasi, ada masa depan yang tak boleh diracuni.(Red).
Penulis. : Red
Editor. : Red Minakonews
